Apakah TUHAN Itu Benar-Benar Ada?
Boleh jadi ini adalah sebuah pertanyaan yang standar bagi sebagian orang, yaitu mengenai keberadaan Tuhan.
Kemajuan teknologi yang pesat di berbagai bidang ilmu pengetahuan membuat banyak orang modern berpikir bahwa Tuhan hanyalah bagian dari sebuah imajinasi pikiran yang pada akhirnya hanyalah takhyul belaka. Akhir tahun 1960-an, kita menyaksikan timbulnya kelompok pemikir keagamaan radikal, yang mengumumkan semboyan bersifat paradoks: “Tuhan telah mati!” Akan tetapi gagasan itu bukanlah sesuatu yang baru. Bila kita mundur lagi ke belakang, Friedrich Nietzsche (1850), seorang ahli filsafat Jerman, sudah mengumandangkan ungkapan “Tuhan telah mati” ini ketika ia mengembangkan suatu sistem pemikiran anti-Kristen yang mencakup konsep suatu ras unggul, yang merupakan fondasi bagi gagasan si orang paling gila di abad ke-20, Adolph Hitler. Sepanjang sejarah, manusia terus-menerus sadar akan Tuhan, entah dalam mencari Tuhan, entah dalam berusaha mengingkari bahwa Dia ada. Bukanlah hal yang baru bahwa orang meragukan eksistensi Tuhan…atau lebih tepatkah dikatakan bahwa orang menginginkan Tuhan tidak ada?
Apakah Arti Kata TUHAN Bagi Manusia?
Beberapa konsep mengenai Tuhan amatlah sempit. Sejak permulaan sejarah banyak orang mencari-cari seorang dewa yang mau memberi mereka kesenangan, penghiburan dan keamanan, tetapi tidak menuntut banyak dari mereka. Banyak orang sudah merasa puas dengan seorang dewa yang mau membuat hasil panen mereka bertambah, melindungi mereka terhadap musuh-musuh mereka, dan yang mau memberi tempat bagi jiwa mereka setelah mati, akan tetapi di samping ini mereka menginginkan seorang dewa yang sekali-sekali mau mengizinkan mereka bergembira ria sedikit (dan sekali-sekali berbuat dosa sedikit). Kita masih bisa melihat cara pendekatan kepada Tuhan seperti ini dewasa ini di kalangan orang-orang biadab penyembah berhala (harta, tahta, dan wanita), dan bahkan di antara para tetangga kita.
Dalam bukunya Your God Is Too Small (“Tuhanmu Terlalu Kecil”) J.B Phillips melukiskan banyak di antara dewa-dewa tak benar yang masih dipercayai orang sekarang ini. Salah seorang di antara mereka ialah si “kakek tua”, Tuhan berambut putih, yang kebapak-bapakan, yang berada di sorga, yang tersenyum memandang manusia di bawahNya dan mengabaikan kesalahan-kesalahan kecil mereka, seperti berzinah, menipu, mencuri, mementingkan diri sendiri, berlaku kejam, mengumpat, dan sebagainya, tanpa batas. Gagasan populer yang sejalan dengan jenis Tuhan ini ialah bahwa ”…selama aku baik, mengurus urusanku sendiri dan tidak pernah membunuh orang, si kakek tua di langit sana akan senang kepadaku” (J.B Phillips, Your God Is Too Small, hal.23). Orang sangat puas dengan “kakek tua” itu atau gagasan lain tentang Tuhan bikinan manusia yang membuat mereka senang. Akan tetapi bentuk Tuhan yang membuat mereka tak senang (atau marah) terdapat dalam Alkitab. Keberatan utama banyak orang terhadap Tuhan seperti itu ialah bahwa Dia bukan bikinan manusia. Sebaliknya, Ia adalah Tuhan yang menciptakan manusia (Kejadian 1:26; Mazmur 100:3) dan yang memiliki kuasa, hikmat dan pengetahuan jauh melampaui kemampuan manusia.
Tuhan yang digambarkan oleh Alkitab membuat banyak orang gugup. Mereka tidak lagi menguasai keadaan. Jenis Tuhan yang ini sedikit terlalu besar untuk rasa senang. Tuhan yang digambarkan oleh Alkitab menuntut segala-galanya dari manusia. Ia menuntut supaya orang mengakui bahwa ia adalah orang yang berdosa dan bahwa ia memerlukan bantuan yang hanya dapat diberikan oleh Tuhan. Pada dasar dosa manusia, terdapat kesombongan yang tidak akan membiarkannya mengakui bahwa ia memerlukan bantuan ini.
Bagaimanakah Sikap-Sikap Dasar Manusia Terhadap TUHAN Saat Ini?
Apabila kita mengadakan pengumpulan pendapat di kalangan orang-orang biasa, kita akan menemukan berbagai pemikiran yang asasi tentang Tuhan.
Si Ateis berkata bahwa Tuhan tidak ada. Ia menyingkirkan semua gagasan tentang Tuhan, mulai dari pandangan kaum biadab sampai kepada pandangan orang Kristen. Si ateis berkata bahwa dewa-dewa bangsa Yunani dengan Tuhan dalam Alkitab adalah sama saja, yaitu mitos dan dongeng yang tidak mungkin dipercayai oleh orang-orang terpelajar dan yang berpikir secara ilmiah. Banyak ateis begitu emosionil dalam pandangan-pandangan mereka, sehingga tampaknya ateisme itu sendiri menjadi semacam agama. Sebagian ateis berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkan setiap pengacuan kepada Tuhan dari lembaga-lembaga umum.
Pendirian Kaum Agnostik (ini yang lebih umum saat ini), bahwa baik keberadaan Tuhan, maupun asal mula alam semesta ini tidak diketahui atau tidak bisa diketahui. Si agnostik bukan sekedar berkata, “Saya tidak tahu apakah Tuhan itu ada.” Ia membuat penilaian negatif yang umum bahwa, “Saya tidak bisa tahu apakah Tuhan itu ada”. Ironis sekali agar sebuah penilaian negatif yang umum semacam ini terbukti benar diperlukan semacam pengetahuan umum (J. Edwin Orr, 100 Question About God, hal.40). Dengan kata lain, bagaimana si agnostik itu tahu bahwa ia tidak bisa tahu? Si agnostik itu sekedar mengganti sesuatu yang mutlak (Tuhan serta kebenaranNya) dengan sesuatu yang mutlak lainnya (pendapatnya sendiri bahwa ia tidak mungkin bisa kenal dengan Tuhan).
Kaum Deis berbeda daripada kaum agnostik dan percaya bahwa Tuhan itu ada, akan tetapi “secara terbatas”. Orang-orang deis percaya bahwa Tuhan menciptakan alam semesta ini dan mengaturnya hingga berjalan dengan sempurna dan tepat, ibarat sebuah jam atau mesin yang cukup minyak. Akan tetapi setelah Tuhan mengatur segala sesuatunya sehingga berjalan dengan baik, Ia berpaling dari ciptaannya dan selanjutnya tidak mau tahu lagi dengannya. Oleh karena itu, kaum deis berpendapat bahwa manusia tidak bisa berkomunikasi dengan Tuhan. Deisme popular di Inggris dan Amerika pada abad 17 dan 18, banyak orang ternama seperti Sir Isaac Newton, Benjamin Frangklin dan Thomas Jefferson adalah deis.
Kaum Theis ialah orang-orang yang menerima konsep adanya satu Tuhan. Orang-orang Yahudi, Islam, dan Kristen adalah kaum Theis. Di Amerika, orang awam menganggap dirinya Theis “yang percaya akan Alkitab.” Sudah barang tentu banyak orang seperti ini hanya sedikit atau sama sekali tidak membaca Alkitab dan tidak tahu apa yang sesungguhnya mereka maksudkan dengan berkata bahwa mereka percaya akan Tuhan. Akan tetapi mereka ini adalah seperti anak kecil yang menulis sebuah surat singkat tetapi langsung mengenai sasarannya: “Tuhan yang baik, tolonglah masukkan aku dalam hitunganMu” (Eric Marshall&Stuart Hample, Children’s Letters To God).
Orang-orang Kristen bukan saja percaya bahwa Tuhan itu ada, tetapi juga bahwa Tuhan berkunjung ke planet ini dalam bentuk manusia. Yesus Kristus menjalani hidup yang sempurna dan bersih dari dosa, kemudian mati sebagai pengorbanan bagi dosa manusia dan bangkit dari antara orang mati untuk menjamin hidup yang kekal bagi semua orang yang percaya akan Dia.

Bukti-Bukti Eksistensi TUHAN (Selain Alkitab)
Argumen Kosmologis bersikeras bahwa kosmos (dunia) ini harus mempunyai suatu penjelasan. Argumen ini berkata bahwa dunia ini tidak mungkin “begitu saja terjadi”. Pasti ada suatu sebab yang sebanding dengan akibatnya. Rasul Paulus menggunakan Argumen Kosmologis ini ketika ia menulis: “Sebab apa yang tidak nampak daripadaNya, yaitu kekuatanNya yang kekal dan keilahianNya dapat nampak kepada pikiran dari karyaNya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih” (Roma 1:20).
Argumen Teleologis bertalian erat dengan pendekatan kosmologis. Teleologi berarti bahwa desain alam semesta ini mencakup arti bahwa ada tujuan atau arah di belakangnya, dan bahwa pasti ada seseorang yang mendesainnya. Mazmur 19:2 menceriterakan bagaimana desain menunjuk kepada seorang Pendesain: “Langit menceritakan kemuliaan Allah dan cakrawala memberitakan pekerjaan tanganNya.”
Argumen Rasional menunjukkan bahwa bumi bergerak secara beraturan dan menurut hukum alam, oleh karena itu pastilah ada suatu otak di belakang aturan dan hukum ini.
Namun ada orang yang menolak argumen-argumen kosmologis, teleologis ataupun rasional ini mengenai eksistensi Tuhan. Orang-orang ini lebih suka mempercayai bahwa bumi ini adalah hasil kuasa-kuasa alam yang sedikit banyak terjadi secara kebetulan. Bumi, makhluk-makhluk hidup, manusia sendiri…semua ini adalah hasil peristiwa kosmis yang mujur.
Ilmuwan A. Cressy Morrison (Man Does Not Stand Alone, hal. 13-19) menyebut beberapa kemungkinan yang menarik andaikata desain alam semesta ini sedikit saja diubah. Misalnya, sekarang ini bumi berputar pada sumbunya dalam tempo 24 jam dengan kecepatan kira-kira 1000 mil sejam? Mengapa ia tidak bisa berputar dengan kecepatan 100 mil sejam. Jika terjadi demikian, maka hari dan malam di bumi ini akan 10 kali lebih panjang daripada yang sekarang, dengan akibat bahwa matahari musim panas yang terik akan membakar dan malam-malam ynag panjang yang dingin akan membuat beku dunia tanaman. Jadi apakah pokok soalnya? Bukankah hal yang kebetulan bahwa hari-hari kita mempunyai panjang 24 jam. Masih banyak fakta lain yang sulit diterangkan secara kebetulan, bahkan posisi bulan—240.000 mil jauhnya dari kita—adalah penting. Andaikata jarak bulan hanya 50.000 mil dari kita, pasang laut akan demikian tingginya sehingga pada akhirnya semua gunung di berbagai benua akan terkikis habis dan topan badai akan terjadi setiap hari.
Argumen Ontologis mengemukakan pikiran bahwa manusia bisa membayangkan gagasan kesempurnaan tentang Tuhan. Dari mana manusia memperoleh gagasan tentang Tuhan kalau tidak dari Tuhan sendiri? Penelitian para ahli antropologi menunjukkan bahwa manusia selalu sadar akan eksistensi Tuhan. Kesadaran ini sering dirusak dan diputar balik oleh politeisme dan pemujaan dewa-dewa, namun keinginan untuk mengenal Tuhan tetap ada. Orang-orang Kristen percaya bahwa keinginan ini adalah bukti adanya Tuhan. Andaikata Tuhan itu tidak benar ada dan Dia tidak menempatkan dalam diri manusia suatu keinginan untuk mengenal Dia, maka manusia tidak akan merasa perlu mencari Tuhan. Selain itu, manusia tidak akan perlu bersusah payah sejauh itu untuk mengingkari Dia seperti yang dilakukan oleh kaum ateis dan agnostik. Dengan kata lain, andaikata manusia tidak mempunyai sesuatu alasan atau sebab yang nyata dalam dirinya untuk percaya bahwa Tuhan itu ada, maka ia tidak akan bersibuk diri tentang hal itu. Boleh jadi sama sekali ia tidak akan berpikir tentang Tuhan.
Argumen Moral berpendirian bahwa manusia mempunyai suatu rasa benar dan salah yang sudah ada sejak semula, yang tidak dapat diterangkan kecuali dengan melihat kepada Seseorang yang menciptakan manusia dan memberinya peranan ini terlebih dahulu.
C.S Lewis (Mere Christianity, hal.15-19) mencatat bahwa orang-orang bertikai gara-gara hendak menuntut adanya standar tingkah laku tertentu, yang dianggap diketahui oleh yang lain. Entah pertikaian itu besar, (“anda mengambil istri saya”), entah kecil (“anda tidak bisa duduk di sini; tempat duduk ini sudah saya pesan”), satu pihak senantiasa berusaha memperlihatkan kepada pihak lainnya di mana kesalahannya, dan seperti dikatakan oleh Lewis, tidak ada gunanya berusaha melakukan hal ini, kecuali apabila kedua belah pihak menerapkan semacam persetujuan pokok tentang apa yang benar dan apa yang salah terlebih dahulu. Yang menjadi pertanyaan ialah, dari mana memperoleh rasa benar dan salah ini?
Dapatkah Argumen-Argumen Yang Manapun “membuktikan” Bahwa TUHAN Itu Ada?
Banyak orang Kristen melakukan kesalahan dengan mengira bahwa mereka bisa memberikan bukti-bukti tentang eksistensi Tuhan, dan meyakinkan orang-orang hingga mau masuk ke dalam Kerajaan Allah. Misalnya, seorang Kristen memang melihat keberaturan alam semesta ini sebagai bukti eksistensi Tuhan. Desain alam semesta ini benar-benar dirancang sempurna oleh seorang pendesain. Suatu jawaban tuntas terhadap argumen ini ialah, bahwa ilmu pengetahuan tidak akan mungkin ada dalam suatu dunia yang tidak diciptakan oleh seorang Tuhan yang beraturan secara rasional, yang membuat segala sesuatu bekerja dengan cara yang sama, hari demi hari dan abad demi abad.
Jika kita ingin berbuat demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa keberaturan dan desain alam semesta ini membuatnya “yang terbaik dari semua dunia yang mungkin bisa diciptakan”, seperti yang dilakukan oleh Dr. Pangloss, ahli filsafat yang polos itu dalam buku Candide yang ditulis oleh pengarang syair sindiran yang ternama serta agnostik yang anti Alkitab, Voltaire (Francois Marie Arouet). Voltaire menulis Candide dalam tahun 1759 sebagai serangan langsung terhadap argumen teleologis, yang berpendapat bahwa untuk setiap akibat ada sebab dan bahwa keberaturan alam semesta ini merupakan bukti bahwa ia diciptakan oleh seorang Tuhan yang pengasih dan sempurna.
Dengan kecermatan yang tak kenal ampun serta sarkasme penuh nafsu, Voltaire menuliskan para pelaku dalam Candide (termasuk sang pahlawan, yang adalah Candide sendiri) menempuh segala macam kengerian dan kesengsaraan, yang memperlihatkan bahwa dunia ini juga mengandung banyak hal yang tidak beraturan dan kekacauan. Kecabulan, perzinahan, perkosaan, pembunuhan, pertumpahan darah karena perang, serta kekacauan yang ditimbulkan gempa-gempa bumi yang menewaskan ribuan manusia, semuanya digambarkan secara bernafsu oleh Voltaire dalam cerita Candide-nya yang singkat, tetapi keras itu. Maksud Voltaire menulis buku itu ialah untuk menanyakan bagaimana kematian yang kejam, perang, kelaparan, gempa bumi, penyakit, dan sebagainya, bisa ada di sebuah “dunia beraturan” yang diciptakan oleh seorang Tuhan yang beraturan, yang mengindahkan ciptaanNya. Voltaire mengajukan sebuah pertanyaan yang asasi, yang oleh banyak orang masih ditanyakan saat ini…
Jika TUHAN Menciptakan Dunia Ini Dan Mengendalikannya, Mengapa Ada Kejahatan?
Jawaban yang tersedia ialah bahwa kejahatan datang ke dalam dunia ini karena dosa manusia. Banyak teks bukti yang menopang pikiran ini, namun banyak orang (termasuk banyak orang Kristen) masih tetap dibingungkan oleh kesulitan yang dihadapi apabila seseorang bertanya: “Jika Tuhan itu adalah Tuhan yang penuh kasih dan Ia Mahakuasa dan Mahabijaksana, bagaimana mungkin Ia membiarkan begitu banyak penderitaan dalam ciptaanNya?” Dengan kata-kata lain, bagi banyak orang adanya kejahatan itu tampaknya membuktikan bahwa Tuhan itu sesungguhnya bukanlah Mahapengasih atau Mahakuasa, karena kalau Ia benar demikian, entah dengan cara bagaimana, Ia akan melenyapkan kejahatan itu dan membuat dunia ini sebuah tempat yang sempurna bahagia untuk didiami.
Tidak ada jawaban yang mudah atau sempurna atas dilema yang dihadapkan oleh pertanyaan-pertanyaan ini. Tidak ada yang tahu atau akan pernah tahu secara tepat bagaimana eksistensi kejahatan itu bisa merupakan bagian dari rencana Tuhan, dan seperti telah dijelaskan oleh C.S Lewis (The Problem of Pain, hal.105), adalah lebih mudah berbicara tentang penderitaan daripada mengalaminya. Akan tetapi ada beberapa pertimbangan asasi yang bisa membantu orang-orang Kristen menggumuli masalah ini dan melihat beberapa kesalahan dalam penalaran bahwa karena kejahatan itu ada, maka Tuhan tidak bisa Mahakuasa atau Mahabaik.
- Kejahatan Alam (tragedi yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa alam)
- Kejahatan Moral
Sesungguhnya, kejahatan moral yang dilakukan oleh orang berdosa lebih mudah dipahami daripada kejahatan alam. Kejahatan alam mencakup bencana-bencana seperti topan badai dan gempa bumi, kebakaran dan air bah, kelahiran anak-anak cacat, penyakit, dan sebagainya. Mengapa Tuhan membiarkan hal-hal ini terjadi? Dan lebih tepat lagi, setiap orang bertanya, “Mengapa Ia membiarkan hal-hal seperti ini terjadi atas diri saya?”
J.B Phillips (God Our Contemporary, hal.92) mencatat bahwa kita keliru jika kita mengira bahwa hidup di atas planet ini secara otomatis bisa aman. C.S Lewis menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan manusia itu bebas dengan mempunyai alternatif pilihan, dan Tuhan juga menciptakan alam, yang diaturNya sesuai dengan hukum-hukum rasional yang bisa dipercaya. Hukum-hukum alam menimbulkan gempa-gempa bumi, air bah, topan-topan badai, dan sebagainya, yang bekerja dengan cara yang tak berubah-ubah setiap waktu. Hukum alam juga membuat api terasa hangat dan nyaman pada suatu jarak tertentu, tetapi dapat pula membakar jika kita terlalu dekat kepadanya. Meminta Tuhan mengubah hukum alam demi kesenangan satu orang atau satu kelompok orang pada suatu waktu atau tempat tertentu akan berarti meminta Tuhan untuk tidak memberi kesenangan kepada orang-orang lain dalam situasi-situasi lain pada waktu yang sama. Lewis percaya bahwa Tuhan tidak mengubah dunia atas kehendak seketika setiap orang dan untuk kesenangan setiap orang. Tuhan bisa saja menguasai zat benda dan membatalkan hukum-hukum alam, dan apabila Ia melakukan hal demikian, maka kita menamakannya mujizat. Akan tetapi, konsep yang sesungguhnya tentang sebuah dunia yang umum dan stabil, menolak pikiran tentang seringnya terjadi mujizat. Lewis (The Problem of Pain, hal.26-34) menyimpulkan bahwa jika kita mencoba menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan penderitaan (resiko hidup), yang tak dapat dielakkan jika kemauan-kemauan bebas terdapat dalam tata tertib alam, maka kita akan terpaksa menyingkirkan hidup itu sendiri.
Kemauan bebas manusia, kebebasan memilih juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari penyebab kejahatan moral__hasil kekejaman manusia terhadap manusia. Menurut C.S Lewis (The Problem of Pain, hal.89), kejahatan manusia (akibat jatuhnya manusia ke dalam dosa) boleh jadi merupakan penyebab empat per lima dari penderitaan yang dialami manusia. Jawaban kita yang segera atas hal ini ialah, “Mengapa Tuhan tidak menghentikan orang-orang jahat membuat orang-orang lain menderita?” Akan tetapi J.B Phillips (God Our Contemporary, hal.89) bertanya, bagaimana Tuhan akan campur tangan tanpa mencampuri hak memilih dari pribadi itu (kemauan bebas)? Dan, ada pula pertanyaan, “Berapa banyakkah kejahatan yang kita ingin supaya dihentikan oleh Tuhan?” Andaikata Tuhan mulai menghakimi setiap orang dengan keadilan yang sempurna, siapa yang akan bertahan hingga malam hari? (Paul E. Little, artikel What Non-Christians Ask, majalah His)
Sebuah aspek kejahatan lainnya yang merisaukan banyak orang ialah ketidakadilan hal-hal dalam hidup ini yang tampak jelas. Sering kelihatannya yang tak bersalah menderita dan yang jahat luput. Akan tetapi, seperti ditunjukkan oleh J.B Phillips (God Our Contemporary, hal. 89-92), dalam Alkitab sama sekali tidak ada tercantum ajaran bahwa jika seseorang berusaha menyenangkan hati Tuhan, maka ia dijamin akan beroleh perlindungan yang lengkap terhadap kejahatan oleh campur tangan Tuhan. Hidup Kristus sendiri di bumi ini membantah gagasan ini. Apa yang memang dijanjikan Alkitab ialah bahwa tidak ada yang bisa memisahkan kita dari kasih Allah (Roma 8:39) dan bahwa jalan keluar Tuhan ketika menghadapi kesukaran senantiasa tersedia bagi kita, tidak peduli apa pun yang akan terjadi (Roma 5:1-11).
Memang sulit menggumuli masalah kejahatan dan penderitaan. Jauh lebih sulit lagi mengalami kejahatan dan penderitaan yang banyak macamnya itu, entah itu penyakit, kecelakaan, bencana alam atau perlakuan kejam. Namun, kiranya ada gunanya diingat: Tuhan tidak mungkin melakukan hal-hal yang pada hakikatnya tidak mungkin, oleh karena itu Ia tidak menempatkan manusia dengan kemauan bebas di sebuah dunia, yang digerakkan oleh hukum alam tanpa sering mendatangkan akibat berupa apa yang kita namakan “sakit” atau “penderitaan”. Kemauan bebas dan kekuasaan untuk memilih yang dimiliki oleh manusia adalah “resiko yang harus diambil oleh Tuhan”, yang tahu betul bahwa hal ini bisa berakhir pada kejahatan jika manusia melakukan pilihan yang salah.
Sering sulit dimengerti mengapa Tuhan memberikan pilihan ini kepada manusia, apabila kita melihat semua kejahatan yang dihasilkannya. Akan tetapi, kemudian kita menghadapi pertanyaan lain: “Tidakkah menolak kebebasan memilih ini akan merupakan kejahatan yang bahkan lebih besar?”
Jika Kita Tidak Bisa Membuktikan Bahwa TUHAN Itu Ada, Bagaimana Kita Bisa Tahu DIA Ada?
Alkitab tanpa ragu menganggap bahwa Tuhan itu sudah pasti ada dan memang sudah semestinya ada. Daripada membuktikan bahwa Tuhan itu ada, pembaca Alkitab diminta untuk percaya kepada Tuhan dan dengan berbuat demikian membuktikan realitasNya. Pendeknya, Alkitab berkata kepada manusia bahwa iman (komitmen dan kepercayaan pribadi) adalah satu-satunya bukti nyata tentang Tuhan.
Penulis kitab Ibrani berkata bahwa “iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak bisa kita lihat” (Ibrani 11:1). Kita tidak bisa membuktikan Tuhan dengan ekperimen laboratories. Kita juga tidak bisa membuktikan Tuhan dengan argumen-argumen yang logis dan rasional. Andaikata Tuhan merupakan langkah terakhir dalam suatu argumen filsafat yang baik sekali, maka yang pertama-tama akan percaya ialah orang-orang yang paling pintar dan sudah berpendidikan tinggi. Dan mereka yang tidak bisa mengikuti argumen atau rangkaian pemikiran yang ruwet, akan tipis harapannya bisa mengenal Tuhan. Akan tetapi, Tuhan telah memilih untuk memberikan kepastian tentang diriNya atas dasar yang berlainan sama sekali. Orang percayalah yang mengenal Tuhan, bukan orang yang paling pintar dalam logika atau pemikiran. Orang mempercayakan dirinya pada Tuhan, sekalipun ia tidak dapat melihatNya atau mengukurNya, dialah yang sesungguhnya mempunyai kepastian bahwa Tuhan itu ada dan bahwa ia mempunyai hubungan pribadi dengan Tuhan. (Ibrani 11:6). Pokoknya adalah ini: Kita bisa mengikuti semua argumen yang diberikan orang kepada kita tentang eksistensi Tuhan, kita bisa menjumpai orang yang akan mengemukakan argumen yang menentangnya. Pada akhirnya, kita terpaksa melakukan “loncatan iman” dan menaruh kepercayaan kita dalam Tuhan. Kita harus percaya kepada Tuhan berdasarkan firmanNya, yang kita jumpai dalam Alkitab.
Bagaimana Kita Bisa Melakukan Loncatan Iman?
Satu cara berpikir tentang “loncatan iman” ialah memperhatikan salah satu cabang olahraga yang telah sangat populer: terjun payung. Bayangkan, meloncat keluar dari sebuah pesawat terbang pada ketinggian 1 ½ km, lalu jatuh ke tanah dan baru menarik tali pengikat payung. Para penerjun payung akan bercerita kepada kita bahwa mereka agak takut pada loncatan pertama, yakni penerjunan mereka yang pertama di udara. Seperti dikatakan oleh seorang penerjun payung: “Kita harus percaya pada payung itu, bahwa ia akan membuka pada saat ia diharapkan terbuka. Lalu kita mengalami bahwa ia membuka. Berhasil, dan kita bahkan tidak pusing-pusing memikirkan bagian yang itu lagi. Hanya yang pertama kali itu saja penerjun payung merasa takut. Cepat atau lambat, kita toh harus melangkah keluar juga dengan iman (Study Guide for the Gospel Light Publications 12th grade Bible Study Course, What’s Your Answer? Vol.1).
Sesungguhnya, para penerjun payung bekerja dengan tiga unsur yang sama dengan definisi iman yang terdiri dari tiga bagian yang diberikan oleh Charles Spurgeon, salah seorang di antara pengkhotbah-pengkhotbah terbesar dalam sejarah. Spurgeon percaya bahwa iman terdiri dari pengetahuan, keyakinan dan pengandalan (hal mempercayakan diri). Yang pertama-tama ialah pengetahuan, kita harus diberitahu tentang sesuatu fakta sebelum kita mungkin mempercayainya. Si penerjun payung bisa “tahu” bahwa olahraga ini mengasyikkan, namun relatif masih aman, melalui pengamatan, membaca dan berbicara dengan orang-orang lain. Dengan cara yang sama, orang Kristen yang mengamati dunia di sekelilingnya, yang membaca Alkitab dan yang berbicara dengan orang-orang lain yang sudah berpengalaman dengan Tuhan, bisa tahu bahwa Tuhan itu ada, yaitu Tuhan, yang dalam Yesus Kristus akhirnya menerobos ke dalam aliran sejarah untuk berbuat sesuatu bagi manusia.
Dari pengetahuan (persetujuan mental) orang harus melanjutkan kepada keyakinan. Calon penerjun payung harus “yakin” akan apa yang dilihatnya, dibacanya dan didengarnya. Ia harus berkata kepada dirinya sendiri, “Ya, kini saya sudah mempunyai fakta-fakta dan saya yakin bahwa terjun payung adalah cabang olahraga yang aman, betul dan bahwa payungnya akan membuka karena hal itu sudah terbukti.” Dengan cara yang persis sama, orang yang sedang mencari Tuhan dengan mengatakan hal yang sama: “Ya saya yakin Tuhan itu ada karena saya telah melihat dunia yang diciptakannya, saya telah membaca tentang Dia dalam bukuNya dan saya telah berbicara dengan orang-orang lain yang telah berpengalaman dengan Dia. Akan tetapi langkah yang ketiga dan yang vital ialah mempercayakan diri. Sipenerjun payung tahu dalam arti nyata apa artinya mempercayakan diri, yaitu “melangkah keluar dengan iman.”
Seperti ditunjukkan oleh Spurgeon, pengandalan adalah unsur yang membuat perbedaan yang sesungguhnya….percaya kepada Kristus dan mengandalkan diri anda sepenuhnya kepada Dia dan mengakui bahwa anda tidak mempunyai pilihan lain. Spurgeon menulis bahwa memahami Alkitab dan tahu apa yang anda harus lakukan adalah satu hal, dan untuk melakukannya adalah satu hal lain. Ia lebih suka melihat jenis iman sejati yang paling kecil daripada “pemahaman” yang paling jitu tentang apa yang diajarkan oleh Alkitab, tetapi tanpa kepercayaan yang sejati kepada Kristus. Pengetahuan tentang Tuhan adalah satu hal, namun harus ada kelanjutannya. Harus ada pengandalan, yaitu sikap mempercayakan diri sepenuhnya kepada Tuhan Yesus Kristus, agar bisa diselamatkan (What is Faith?, All of Grace, Spurgeon).
*(J.B Phillips, God Our Contemporary; Your God Is Too Small), (J. Edwin Orr, 100 Question About God), (Eric Marshall & Stuart Hample, Children’s Letters To God), (A. Cressy Morrison, Man Does Not Stand Alone), (C.S Lewis, Mere Christianity; The Problem of Pain), (Paul E. Little, artikel What Non-Christians Ask, majalah His), (Study Guide for the Gospel Light Publications 12th grade Bible Study Course, What’s Your Answer? Vol.1), (What is Faith?, All of Grace, Spurgeon), (Fritz Liteunour, Can The Bible be Trusted?)
0 comments:
Post a Comment